Sam Ardi's Blog

Sebuah blog personal Sam Ardi

Linimas(s)a: Sebuah Film Dokumenter

Kali ini posting saya di blog akan sedikit berbeda. Kalau biasanya para pembaca mengenal blog saya sebagai blog yang serius membahas cyber law dan cybercrime, kali ini saya akan membahas hal yang berbeda walaupun di dalamnya akan terdapat sedikit pembahasan dengan hukum.

 

DVD ver. Beta & Stiker Linimas(s)a

Jumat 18 Februari 2011 lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi #3GMerapi di Yogyakarta atas undangan teman blogger untuk mempererat ukhuwah bloggeriyah dan bagi saya sendiri sebagai ajang bertemu teman-teman yang hampir jarang dapat ditemui karena kesibukannya. Acara tersebut salah satunya merupakan nonton bersama sebuah tayangan dokumenter tentang perjalanan social media dan pengaruhnya terhadap beberapa peristiwa di Indonesia. Sebut saja peristiwa “Gecko dan Alligator” , Prita Mulyasari, tak ketinggalan tentang bencana alam meletusnya Gunung Merapi.

Linimas(s)a dapat dikatakan sebagai dokumenter pertama yang membahas tentang perjalanan Internet Indonesia pasca rezim Cyber Law dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya dalam bidang social media, sebuah ranah yang hampir tak tersentuh pemerintah. Pengguna social media Internet sendiri di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. Ibarat sebuah gadget baru, social media dilahap dengan nikmatnya oleh pengguna internet Indonesia.

Tidak ada yang menyangka bahwa social media sekecil Twitter ternyata dapat menjadi jembatan untuk menyalurkan simpati dan empati bahkan aksi nyata bantuan kemanusiaan terhadap bencana alam, sesuatu hal yang pemerintah saja tertinggal jauh dibelakang. Facebook, sebuah akun gratis dapat menjadi social control terhadap peristiwa hukum yang mempunyai efek luar biasa terhadap perjalanan hukum di Indonesia.

Peristiwa pencemaran nama baik yang merupakan reaksi nyata pengumpulan “Koin untuk Prita” dari Sabang hingga Merauke menjadi tamparan keras terhadap para aparat penegak hukum yang mungkin mempunyai pemikiran “hanya kami yang mengerti hukum!”. Berkat dukungan dari user internet yang tergabung di berbagai social media, kasus hukum Prita Mulyasari dengan sendirinya “diawasi” oleh dunia.

Tak hanya Prita, kasus Bibit-Chandra yang heboh dengan sebutan “Cicak vs Buaya” juga dapat dipantau secara luas dari social media semacam Facebook yang terkenal dengan dukungan 1.000.000 facebooker menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Yanuar Nugroho, Ph.D seorang peneliti dari Manchester University berpendapat ada faktor konvergensi media dan resonansi pengguna internet yang menyebatkan social media dapat berkembang dengan pesatnya, bahkan ikut “mengontrol” sebuah kasus hukum yang dikategorikan cukup mendapat tempat tersendiri dalam perjalanan hukum di Indonesia.

Social Media tak hanya menjangkiti kalangan praktisi IT saja, tetapi juga melebur dalam kegiatan sehari-hari akar rumput. Harry van Yogya misalnya yang terkenal dengan “Becak berFacebook” turut menggunakan social media dalam aktivitas sehari-harinya yang justru membuat tertarik turis mancanegara berkunjung ke Indonesia karena hasil diskusi via social media yang tentu saja secara tidak langsung kunjungan turis mancanegara ke Indonesia pasti menambah devisa negara.

Kita tentu masih ingat dengan bencana alam Merapi beberapa waktu silam, sebuah akun @JalinMerapi yang dikomandoi oleh Ahmad Nasir menjadi jembatan bagi siapa saja yang ingin menajdi relawan atau membantu saudara-saudara yang berada di Yogyakarta, sebuah langkah brilian ditengah mahalnya bandwith dan kurangnya infrastruktur internet di Indonesia. Ironis memang, masyarakat yang dapat bertindak positif jauh ke depan terhalang oleh sarana dan prasarana yang kurang memadai dan penelikungan aparat penegak hukum yang congkak.

Tak dapat dipungkiri fungsi positif social media juga ternyata dapat menyelamatkan nyawa orang lain dalam kondisi darurat, salah satunya masalah donor darah. JustSilly sebuah akun di Twitter menjadi penghubung orang-orang yang mengalami dan membutuhkan transfusi darah.

Teman-teman difabel juga dapat belajar IT karena dukungan dari para blogger dan membuka jendela baru tentang dunia, dari sebuah komputer yang tersambung dengan internet. Mungkin mengetik dan membuat sketsa atau gambar bagi seseorang yang telah lama berkecimpung dalam dunia grafis atau desain komunikasi visual adalah hal mudah, tetapi bagi teman-teman difabel adalah hal yang luar biasa karena terkendala sarana. Disinilah peran kita yang mengerti akan hal-hal semacam itu menjadi sebuah kewajiban untuk memberi pengetahuan kepada mereka.

Saya salut atas pembuatan dokumenter Linimas(s)a ini yang apa adanya, berdasarkan kasus empiris di masyarakat, dan membuat setidaknya saya pribadi bangga sebagai bangsa Indonesia yang dapat menjadikan social media memiliki fungsi yang positif demi majunya bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini. Pada era internet 2.0 ini mungkin, dengan memperhatikan perkembangan social media dan beberapa kasusnya, para pakar dan sosiolog dapat meneguhkan sebuah teori “baru”…social media is a tool of social control.

Saya ingin menutup postingan ini dengan sebuah kalimat ketika sarapan pagi bersama kang Onno dan Donny di wisma M&M Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sebelum mengisi acara #3GMerapi: “…mungkin jika infrastruktur kita memadai, kita sudah menjajah negeri orang sejak dulu ya…”

NB: postingan ini adalah pendapat subyektif penulis, tidak atas permintaan dari institusi manapun, ditulis apa adanya. Untuk teman-teman: Suryaden, kang Onno W. Purbo, pak dhe Poer, kang Acep,  Arief Jawa, Donny BU, Dandhy Laksono, mas Farid Gaban, Nasir dan Sammy maaf banget, bukan maksud “sok ketat waktu” tapi memang saya harus cabut dari Yogya karena ada sesuatu hal. Bagi yang ingin melihat trailernya: http://www.youtube.com/watch?v=GCl_7HUIBQk dan foto acara: http://www.facebook.com/album.php?id=1064919678&aid=2085905

Published by

10 responses to “Linimas(s)a: Sebuah Film Dokumenter”

  1. loh kok desember pak? 😀
    *lanjut baca lagi*

    1. Terima kasih sudah dikoreksi 🙂 makelum masih sempoyongan dari perjalanan jauh

  2. “…mungkin jika infrastruktur kita memadai, kita sudah menjajah negeri orang sejak dulu ya…” <<< kira kira negara mana yang pengen dijajah??

  3. kalau kritiknya apa? 🙂

    1. Kritikannya ya? mengapa Donny yang harus muncul disetiap scene itu dokumenter !

  4. salut tok, akeh tunggale

    salam hangat

    #pelukmesra #mdrcct #jabaterat

  5. huhuhu… aku ra iso melu tanggal wolulas iku…

  6. aku koq ra ketemu kowe thooo?
    wuuu…

  7. […] artikel: https://samardi.wordpress.com/2011/03/19/linimassa/ Tags: dokumenter, dvd, film, Linimas(s)a .author {margin-top:10px;padding:10px;border:1px […]

Leave a reply to slaksmi Cancel reply