Sam Ardi's Blog

Sebuah blog personal Sam Ardi

Soal Pidana Mati dalam Putusan Mahkamah Agung

Hukum pidana sebagaimana sudah diketahui oleh umum, satu-satunya hukum yang dapat “bertindak” sebagai Tuhan dengan mencabut atau mengakhiri kehidupan seseorang. Beberapa hari yang lalu menjadi perbincangan hangat seiring dengan dilaksanakannya eksekusi pidana mati terhadap “Bali Nine”. Tak urung, perdebatan apakah pidana mati masih relevan dilaksanakan atau sudah ketinggalan zaman.

Dalam berbagai putusannya, Mahkamah Agung menerapkan standar ganda. Artinya di satu sisi menentang pidana mati, tetapi di sisi lain menyetujui pidana mati. Berikut ini adalah beberapa putusan Mahkamah Agung yang terlihat menentang pidana mati:

1. Putusan 45 PK/PID.SUS/2009 atas nama Hillary K. Chiemezie, Kasus Narkotika

MA-Hillary

MA-Hillary2

2. Putusan 39 PK/Pid.Sus/2011 atas nama Hanky Gunawan, kasus Psikotropika

MA-Hanky

Putusan Mahkamah Agung yang menentang pemberlakukan pidana mati terhadap petindak dalam kasus Narkotika dan Psikotropika di atas bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung No. 38 PK/PID.SUS/2011 atas nama Myuran Sukumaran alias Mark. Berikut pertimbangan majelis hakim:

MA-Mark

MA-Mark2

Berdasarkan 3 putusan tersebut, dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung sendiri tampak kebingungan dalam memandang pidana mati dari perspektif Undang-undang Dasar 1945, hukum positif, dan konvensi internasional. Patut dikaji pula, bagaimana jika seseorang yang telah terlanjut dieksekusi, tetapi kemudian oleh Pengadilan dinyatakan tidak bersalah. Saya belum menemukan kasus seperti itu dalam perjalanan hukum di Indonesia, tetapi di luar negeri sudah banyak terjadi. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

1. State of South Carolina vs George Stinney, Jr (defendant)

Given the particularized circumstances of Stinney’s case, I find by a preponderance of the evidence standard, that a violation of the Defendant’s procedural due process rights tainted his prosecution, For that reason, the Court hereby grants relief in the form of a writ of coram nob is,”not on the grounds that the judgment against him was wrong on the merits, but that the courts have failed in a capital case to discharge their proper functions with due regard to the constitutional safeguards in the administration of justice,” Stale v. Thompson, supra, 122 S.C.407, l 15 S.E. 326, 335 (1922). Based on the foregoing, I hereby vacate the Defendant’s conviction

2. Timothy Evans

“I am happy to express my agreement with the conclusion of the Commission that Timothy Evans has been exonerated of the murders of his wife and child. It is recognised that he committed neither murder. The free pardon which he was granted was a formal vindication and when granted the only available vindication of the only murder of which he had been convicted. The Home Secretary did all he could. The subsequent payment of compensation to his surviving family assessed on the basis that he was wholly innocent makes the position abundantly clear. I hope that these public expressions in open court of his innocence will give some solace to his family. However, for the reasons given above I would dismiss this claim”

Dari 2 contoh (saya menemukan ada 5) tersebut dapat menjadi kajian mengenai layak atau tidaknya menjatuhkan pidana mati untuk saat sekarang. Menutup postingan dalam blog ini, saya ingin memperlihatkan statemen Prof. Roeslan Saleh dalam bukunya Pidana Mati, kurang lebih bermakna demikian: jika pidana perampasan kemerdekaan dijatuhkan tetapi dikemudian hari dinyatakan tidak bersalah, maka dapat dikembalikan kemerdekaan yang dirampas tersebut dengan membebaskannya. Tetapi jika pidana mati dijatuhkan, lalu dikemudian hari dia dinyatakan tidak bersalah, bagaimana cara mengembalikan nyawa yang telah direnggut tersebut?

Published by

Leave a comment